Breaking News

Liga Champions Yang Kejam Pada Gianluigi Buffon


Berulang kali hati Gianluigi Buffon tersayat dalam ajang Liga Champions, hingga puncaknya terjadi dalam malam penuh drama di Santiago Bernabeu. Berikut adalah hasil wawancara bersama INDOSUPERBET yang dirangkum oleh Sumber Bola 303 bersama dengan Bandar Resmi Agen Bola SBOBET Terpercaya Indonesia. Pastikan untuk selalu mengikuti Info Bola Liga Inggris, Klasemen Liga Inggris, Jadwal Bola Malam Ini bersama Sumber Bola 303.

Pada 1948 silam sebuah ide brilian dicetuskan editor media terkemuka Prancis, L'Equipe, Gabriel Hanot, pada federasi sepakbola Eropa (UEFA). Dia meminta UEFA untuk membuat sebuah turnamen yang diikuti oleh para klub jagoan seantero Eropa.

Tujuh tahun berselang, UEFA akhirnya melahirkan turnamen yang diberi nama Piala Champions. Seiring waktu berjalan turnamen itu mengalami perubahan sistem, format, hingga akhirnya dibranding ulang pada musim 1992/93 menjadi Liga Champions.


Meski perubahan terus terjadi, satu hal yang pasti adalah Liga Champions terus memuncak pamor dan prestisenya hingga jadi titik referensi kesuksesan sebuah klub di Benua Biru. Otomatis, setiap pesepakbola yang berkarier di Eropa menjadikan gelar dalam turnamen tersebut sebagai pelambang pencapaian tertinggi di level klub.

Pemain-pemain legendaris mulai dari Ferenc Puskas, Franz Beckenbauer, Paolo Maldini, sampai duo alien sepakbola, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, menjadikan gelar Liga Champions sebagai penanda kebintangan dan kebesarannya.

Karenanya ketika kita mengetahui fakta bahwa legenda lain layaknya Diego Maradona, Ronaldo Nazario de Lima, sampai Francesco Totti tak pernah sekalipun mengecup "Si Kuping Besar", terdapat perasaan janggal yang hadir.

Perasaan yang tentu juga para legenda nir Liga Champions derita, sekalipun kebesarannya tidak terkikis. Namun ada satu legenda yang tak hanya merasa janggal tapi juga sakit hati soal bagaimana Liga Champions "memperlakukannya".


Ya, dialah Gianluigi Buffon. Sosok yang tak hanya dikenal sebagai kiper utama serta kapten Juventus, tapi juga salah satu penjaga gawang terbaik dalam sejarah sepakbola.

Dalam 23 musim fantastisnya sebagai pesepakbola profesional, 14 musim dilalui Buffon di ajang Liga Champions. Penampilan perdananya di turnamen itu terjadi nyaris 21 tahun silam bersama Parma, di usianya yang masih 19 tahun.

Buffon tampil brilian dalam duel pertamanya, yang terjadi di Republik Ceko kala menahan Sparta Praha imbang tanpa gol. "Saya takkan pernah lupa partai perdana saya melawan Sparta Praha. Hasilnya 0-0, dengan saya membuat tiga atau empat penyelamatan penting," kisahnya pada Champions League Magazine.

Penantian cukup panjang harus dilalui Buffon untuk kembali mentas kembali di Liga Champions. Setelah musim 1997/98, Superman akhirnya kembali lima tahun berselang bersama Juve tepatnya pada kampanye 2001/02. Di sinilah dia kemudian tercatat sebagai penampil terbanyak Liga Champions dalam sejarah Si Nyonya Tua, lewat 117 laga.

Bersama Juve, Buffon mencapai puncak tertinggi dalam kariernya yang sesuai ekspektasi. Figur berpostur 191 centimeter ini menjelma jadi salah satu kiper yang paling diakuti striker-striker lawan.

Gelar domestik lazim diraihnya, kerap terpilih sebagai kiper terbaik dunia, dan jadi bintang saat bawa timnas Italia juara dunia 2006, hingga publik pun beranggapan hanya masalah waktu saja untuk Buffon mengecup "Si Kuping Besar".

Musim 2002/03 jadi kali pertama Buffon benar-benar dekat dengan trofi Liga Champions. Juve dibawanya ke final di Old Trafford menghadapi rival senegara, AC Milan, yang sudah dikalahkannya dalam kompetisi domestik.

Sayang, Milan keluar sebagai juara melalui babak adu penalti sekalipun Buffon sukses menangkis dua penalti lawan. "Disayangkan memang, tapi saya tidak benar-benar sedih. Ketika itu usia saya 25 tahun, saya masih muda, jadi saya berpikir masih banyak kesempatan untuk meraihnya," ujarnya, seperti dilansir laman resmi UEFA.

Namun prediksi Buffon muda salah. Calciopoli dan loyalitas besarnya pada Juve membuatnya rela jatuh ke titik terendah karier, sampai akhirnya bangkit. Butuh waktu tak sebentar, karena final kedua Buffon baru datang pada kampanye 2014/15 atau saat usianya sudah menginjak 37 tahun.


Sial bagi Juve dan Buffon, karena lawan yang dihadapi adalah Barcelona. Blaugrana kala itu bagai tak tertandingi, karena miliki Lionel Messi, Luis Suarez, dan Neymar, yang tampil menggila sepanjang musim. Benar saja, I Bianconeri kalah secara meyakinkan 3-1.

Di usia senja, untungnya Buffon masih prima dengan Juve kembali pada statusnya sebagai tim elite Eropa. Dua musim kemudian tepatnya pada kampanye 2016/17, dia kembali ke final Liga Champions, kali ini menghadapi juara bertahan Real Madrid.

Walau kalah nama besar, Juve sejatinya jadi favorit dalam final yang berlangsung di Cardiff tersebut. La Vecchia Signora tampil fantastis dalam perjalanan menuju final, tanpa pernah kalah dan cuma kebobola tiga kali. Belum lagi ditambah fakta tak ada tim yang pernah menggondol "Si Kuping Besar" dua kali beruntun.

Namun lagi-lagi Bufon yang pada musim tersebut kembali mendapat predikat sebagai kiper terbaik dunia, dibuat patah hati. Juve dihajar begitu telak lewat skor 4-1, kendati tampil lebih meyakinkan di paruh pertama.


"Jika ada satu partai yang bisa saya ulangi dalam karier saya, itu adalah final Liga Champions di Cardiff. Kami terlalu percaya diri dan jika saja lebih fokus, Madrid pasti bisa dikalahkan. Saya kecewa dan saya paham kekecewaan tifosi, karena kekalahan di final bagai luka bakar yang akan selalu membekas," tutur Buffon, seperti dikutip INDOSUPERBET.

Musim ini, di usia 40 tahun, Buffon mengisyaratkan bahwa dirinya akan gantung sarung tangan di pengujung kampanye. "Kemungkinan besar kampanye ini akan jadi musim terakhir saya. Tidak ada dan tak seorang pun yang abadi," katanya, dalam film dokumenter Juve di Netflix.

Artinya tinggal satu kesempatan lagi untuk Buffon melengkapi lemari gelarnya dengan Liga Champions. Satu hal yang selalu diidam-idamkannya. "Saya tidak terobsesi dengan gelar Liga Champions. Saya tak masalah jika karier saya berakhir tanpa trofi itu. Namun saya berbohong jika tidak menginginkannya," ungkapnya, seperti dilansir Tuttosport.

Juve pun menunjukkan kelasnya di Liga Champions musim ini. Walau tak mulus di babak fase grup, La Vecchia Omcidi tetap melaju ke 16 besar di mana mereka hadirkan momen ajaib di Wembley untuk kembali melenggang.

Madrid yang mengalahkan Juve di final musim lalu, lantas terundi untuk jadi ujian Buffon selanjutnya pada musim pamungkas di Liga Champions. Lawan terberat yang bisa dia bayangkan di babak perempat-final.


Benar saja, Madrid secara perkasa melangkahkan satu kakinya di babak semi-final usai menang telak 3-0 atas Juve di J Stadium pada leg pertama. Buffon dibuat menderita dengan tiga gol, yang salah satunya tercipta lewat salto menakjubkan Cristiano Ronaldo.

Drama kemudian tersaji pada leg kedua di Santiago Bernabeu. Ketika semua orang berpikir bahwa duel itu akan jadi partai formalitas perpisahan Buffon di Liga Champions, secara spektakuler Juve mampu unggul 3-0 hingga masa injury time, untuk samakan agregat jadi 3-3!

Buffon tampil luar biasa sepanjang laga dengan tiga penyelamatan krusial. Juve memang didominasi, tapi mereka tampak akan lakukan comeback bersejarah melalui babak perpanjangan waktu, dengan Massimiliano Allegri masih menyimpan dua slot pergantian pemain.

Hingga kemudian drama terjadi beberapa detik saja sebelum peluit panjang dibunyikan. Wasit pemimpin laga, Michael Oliver, menunjuk titik putih di kotak penalti Juve atas pelanggaran penuh perdebatan yang dilakukan Medhi Benatia pada Lucas Vazquez.

Reaksi mengerikan kemudian ditampakkan Buffon atas keputusan tersebut. Pemain yang sepanjang kariernya dikenal tenang, bijak, nan bersahaja ini, mendadak lepas kontrol dengan membentak, memaki, dan lakukan kontak fisik pada Oliver sebagai bentuk protes.


Sontak, Oliver langsung menghadiahi Buffon kartu merah. Superman lantas keluar lapangan dengan penuh amarah pertanda betapa besar hasratnya memenangkan Liga Champions. Penalti dilakukan dengan kiper pengganti, Wojciech SzczÄ™sny, gagal membendung dentuman kencang Ronaldo. Madrid perkecil kekalahan jadi 3-1 dan menendang Juve lewat agregat 4-3.

"Seorang manusia tidak bisa meniup peluit untuk insiden yang amat meragukan dalam pertandingan seperti itu. Jelas yang ada di dalam dadanya adalah tempat sampah, bukan hati. Kalau Anda tidak memiliki karakter, sebaiknya Anda menonton di tribun saja sambil memakan keripik dengan keluarga Anda," kecam Buffon selepas laga, seperti dikutip Mediaset Premium.

Satu lagi fakta pedih diberikan Liga Champions pada Buffon. Bukan trofi perdana melainkan karu merah perdana yang dihadiahkan, dalam partai yang kemungkinan besar jadi perpisahan Buffon di turnamen prestise tersebut.

Beredar selama 14 musim di Liga Champions, mengukir 117 penampilan, catatkan 50 clean sheet, kebobolan 112 kali, tiga kali kalah di final, dan satu kartu merah jadi statistik ironis Buffon di Liga Champions.

Bukan hanya tidak berjodoh, tapi Liga Champions seakan memberi cara radikal untuk menolak perjuangan seorang pemain mengecup mahkotanya. Kejam mengetahui bahwa pemain itu adalah figur istimewa dalam sejarah sepakbola seperti Buffon.


Walau begitu layaknya kolonel Claus Schenk Graf von Stauffenberg yang dikenal dalam usahanya membunuh Adolf Hitler, Buffon tetap akan dikenang sebagai pejuang tergigih di Liga Champions meski berakhir dengan kehampaan.

Bandar Resmi Agen Bola SBOBET Terpercaya
Min DP Rp 25.000/WD Rp 50.000

WeChat
Indosuperbet
Line
Indosuperbet
bbm logo
D993092B
WA logo
+6282291191911

No comments